Show Time

WELCOME to My BLOG. And JOIN with me !!!

Kamis, 28 Maret 2013

CERPEN


MARTINI
Oleh: Kurniawan Lastanto

Wanita itu bernama Martini. Kini ia kembali menginjakkan kakinya di lndonesia, setelah tiga tahun ia meninggalkan kampung halamannya yang berjarak tiga kilometer dari arah selatan Wonosari Gunung Kidul. Didalam benak Martini berbaur rasa senang, rindu dan haru. Beberapa jam lagi ia akan berjumpa kembali dengan suaminya, mas Koko dan putranya Andra Mardianto, yang ketika ia tinggalkan masih berusia tiga tahun. Ia membayangkan putranya kini telah duduk dibangku sekolah dasar mengenakan seragam putih – merah dan menempati rumahnya yang baru, yang dibangun oleh suaminya dengan uang yang ia kirimkan dari Arab Saudi, Negara dimana selama ini ia bekerja.
Martini adalah seorang tenaga kerja wanita yang berhasil diantara banyak kisah mengenai tenaga kerja wanita yang nasibnya kurang beruntung. Tidak jarang seorang TKW pulang ketanah airnya dalam keadaan hamil tanpa jelas siapa ayah sang janin yang dikandungnya. Atau disiksa, digilas dibawah setrikaan bersuhu lebih dari 110 derajat celcius, atau tiba – tiba menjadi bahan pemberitaan di media massa tanah air karena sisa hidupnya yang sudah ditentukan oleh vonis hakim untuk bersiap menghadapi tiang gantungan atau tajamnya logam pancung yang kemudian membuat kedubes RI, Deplu dan Depnaker kelimpungan dan tampak lebih sibuk.
Sangatlah beruntung bagi Martini mempunyai majikan yang sangat baik, bahkan dalam tiga tahun ia bekerja, ia telah dua kali melaksanakan umroh dengan biaya sang majikan. Majikannya adalah seorang karyawan disalah satu perusahaan minyak disana. Ia bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga di El Riyadh dengan tugas khusus mengasuh putra sang majikan yang sebaya dengan Andra, putranya. Hal ini membuatnya selalu teringat putranya sendiri dan menambah semangat dalam bekerja.
Dengan cermat Martini memperhatikan sekeliling, akan tetapi ia tidak melihat seorang saudara atau kerabatpun yang ia kenal. Sempat terbersit rasa iri dan kecewa ketika ia menyaksikan beberapa rekanannya yang dijemput dan disambut kedatangannya oleh orang tua, anak atau suami mereka. Namun dengan segera ia membuang jauh – jauh pikiran tersebut. Ia tidak ingin suuzon dengan suaminya.
 Mungkin hal ini disebabkan karena kedatanganku yang memang terlambat tiga hari dari jadwal kepulangan yang direncanakan sebelumnya,” pikirnya huznuzon. Dan pikiran ini malah membuatnya merasa bersalah, karena ia tidak memberitahukan kedatangannya melalui telepon sebelumnya.
Akhirnya ia memutuskan untuk menuju terminal pulogadung dengan taksi bandara. Oleh karena ia tidak tahu dimana pool bus maju lancar terdekat dari bandara soekarno-hatta, ia berharap di terminal pulogadung ia bisa langsung menemukan bus tersebut dan membawanya ke wonosari dengan nyaman, karena badannya sekarang sudah terlalu letih untuk perjalanan panjang yang ditempuh dari Arab Saudi.
Tanpa ia sadari, martini telah sampai di depan rumahnya, rumah yang merupakan warisan ayahnya, yang ia huni bersama mas koko, andra dan ibunyayang telah renta. Namun bingung dan pertanyaan muncul dalam benaknya. Yang ia lihat hanyalah rumah tua tanpa berubahan sedikitpun, kecuali kandang sapi didekat rumahnya yang kini telah kosong. Sama keadaanya dengan tiga tahun lalu tatkala ia meninggalkan rumah tersebut.
Mana rumah baru yang mas koko bangun seperti yang ada di foto yang mas koko kirimkan tiga bulan yang lalu. Apakah ia membeli tanah di tempat lain dan membangunnya disana. Kalau begitu syukurlah,” pikirnya mencoba huznuzon. Ia ketuk perlahan – lahan pintu rumahnya. Namun tidak ada seorangpun yang muncul membukakan pintu “kulo nuwun, mas…! Andra…! Mbok…!” Beberapa saat kemudian barulah pintu yang terbuat dari kayu glugu tersebut terbuka.” Madosi sinten mbak?” Tanya seorang bocah berusia 6 tahun yang tak lain adalah andra yang muncul dari balik pintu. “Andra aku ini ibumu, sudah lupa ya. Apakah bapakmu tidak menceritakan ihwal kedatanganku?” ucap martini balik bertanya. “Ayah? Kedatangan ibu? Oh mari masuk. Sebentar ya, andra bangunkan mbah dulu,” ujar Andra sambil berlari menuju ke arah kamar neneknya.
Martini masuk kedalam rumah dan duduk diatas amben yang terletak disudut ruangan depan, seraya memperhatikan keadaan di dalam rumah yang ia huni sejak kecil tersebut. Keadaan dalam rumahpun tidak tampak ada perubahan yang berarti.
Martini ya. Wah – wah anakku sudah datang dari perantauan,” terdengar suara tua khas ibu martini sedang setengah berlari keluar dari kamarnya, menyambut kedatangan anaknya, diikuti oleh andra , membawakan segelas teh hangat. “bagaimana keadaan simbok disini?”, Tanya martini. “oh, anakku simbok di sini baik – baik saja, kamu sendiri bagaimana, tini?” “saya baik – baik saja mbok, ngomong – ngomong mas koko dimana mbok?” Tanya martini. Mendengar pertanyaan itu, tiba – tiba air muka ibu martini berubah, ia tampak berpikir – pikir sejenak. “ oh mengenai suamimu, nanti akan simbok ceritakan, sebaiknya kamu ngaso dulu. Kau pasti capek setelah melakukan perjalanan jauh. Jangan lupa teh hangatnya diminum dulu,” saran ibu martini.
Martini menurut saja apa yang dikatakan ibunya. Setelah menikmati segelas teh hangat, ia mengangkat kaki dan tiduran di atas amben. Namun tetap saja ia tidak dapat memejamkan matanya. Pikirannya tetap melayang memikirkan suaminya dimana dia, apakah dia merantau ke Jakarta untuk turut mencari nafkah di perantauan, dimana letak rumah barunya, atau apakah mas koko malah meninggalkan dirinya dan menikah dengan wanita lain?” “ah tidak mungkin,” pikirnya kembali berusaha untuk tetap huznuzon. Ia mencoba bangkit lalu menemui ibunya yang sedang memasak dipawon. “maaf Mbok, dimana mas koko, tini sudah kangen dan ingin berbicara dengannya,” ujar martini membuka kembali percakapan. Ibu martini tampak kembali berfikir sejenak, lalu berdiri dan mengambil segelas air putih dingin dari kendi. “ minumlah air putih ini agar kamu lebih tenang, Tini, nanti simbok ceritakan di mana suamimu berada, kalau kamu memang sudah tidak sabar.”
Sementara itu martini bersiap untuk mendengarkan dengan seksama penuturan ibunya. “ tiga bulan lalu rumah yang dibuat suamimu atas biaya dari kamu sudah jadi. Letaknya didusun sebelah sana, namun sejak itu pula kesengsem sama seorang wanita. Wanita itu adalah tetangga barunya. Dua bulan lalu mereka menikah dan meninggalkan andra bersama simbok. Tentu saja simbok marah besar kepadanya. Namum apa daya, simbok hanyalah wanita yang sudah renta, sedang ayahmu sudah tiada, dan uang yang simbok pegang pun pas – pasan. Mau mengirim surat kepadamu simbok tidak bisa, kamu tahukan simbok buta huruf. Mau minta tolong kepada siapa lagi, sedangkan kamu adalah anakku satu – satunya. Kamu tidak mempunyai saudara yang bisa simbok mintai tolong untuk mengirimkan surat kepadamu, sedangkan anakmu, andra masih kelas 1 SD”.
Mendengar penuturan ibunya, martini langsuung menangis, ia sedih marah dan kalut.
“mengapa simbok tidak melaporkannya ke pak kadus dan pak kades, dan beliaupun sudah berjanji untuk membantu simbok. Namun sampai saat ini simbok belum mendapatkan jawabannya. Sedangkan suamimu sendiri dan istri barunya , tampak tak peduli dengan suara – suara miring para tetangga. Dan untuk lapor ke KUA, simbok tidak berfikir sampai kesitu, maafkan simbok,” tambah ibunya dengan suara yang terdengar bergetar.
Duh Gusti...., paringono sabar...,." terdengar Martini terisak, berusaha untuk tetap ingat kepada Yang Maha Kuasa. Bagaimana bisa, suami yang begitu ia cintai dan ia percaya, dapat berbuat begitu kejam terhadapnya. Apalagi ia sekarang tinggal bersama istri barunya, di rumah hasil jerih payahnya selama tiga tahun merantau di Arab Saudi. "Mbok, di mana rumah baru itu berada?” wajah ibunya terlihat ketakutan, ia tidak tahu apa yang akan dilakukan anaknya dalam keadaan kalut di sana apabila ia tahu letak rumah tersebut. "Mbok, di mana Mbok,” Suara Martini semakin tinggi, namun ibunya tetap diam.,”Kenapa simbok tidak mau memberitahu. Apakah Simbok merestuinya? Apakah simbok mendukungnya? Apakah Simbok membela bajingan itu dari pada saya anakmu sendiri? Apakah.....”
“Diam Tini, teganya kamu menuduh ibumu seperti itu. Kamu mau menjadi anak durhaka? Ingatlah kamu kepada Tuhan,Nak, ingatlah kepada Gusti Allah,Nak" Kalimat itu muncul dari mulut ibunya, yang kemudian terduduk menangis mendengar ucapan pedas anaknya tersebut.
“ya sudah kalau Simbok tidak mau memberitahu. Tini akan cari sendiri rumah itu,” teriak Martini seraya meninggalkan ibunya yang sangat bersedih, yang berusaha mengejarnya namun kemudian jatuh tersungkur di halaman depan rumahnya karena tidak mampu lagi mengejarnya. “Hei , mana Koko, bajingan sialan,"teriak Martini sambil berjalan membabi buta, menyusuri jalan dengan muka merah Padam. Pikirannya kacau balau. “Buat apa aku bekerja jauh-jauh mencari uang di Arab Saudi demi kamu dan. Andra tetapi mengapa kau tega memanfaatkanku, menggunakan uangku untuk membuat rumah dan tinggal di sana bersama istri barumu, Kurang apa aku?” Mendengar teriakan Martini, kontan para tetangga di sekitar situ segera berhamburan ke luar rumah. Mereka kebingungan menyaksikan ulah Tini yang sudah tidak mereka lihat selama tiga tahun, tiba – tiba muncul kembali di dusun itu dengan tingkah laku yang berubah 180 derajat. Martini yang dulunya lembut, penurut, kini kasar dan beringasan. Apakah ia telah gila? Apakah yang telah terjadi terhadap dirinya di Arab saudi? Apakah ia dianiaya sebagaimana sering terdengar berita di media massa mengenai TKW yang disiksa?.
Namun kemudian mereka segera menyadari. Hal ini pasti karena Martini telah mengetahui perbuatan suaminya. Segera saja mereka mengejar dan mencoba menenangkan Martini. Namun dengan kuat Martini mencoba melepaskan tangannya dari dekapan tetangganya itu. Dan saat itu pula ia melihat suaminya, ya Koko bajingan itu, keluar dari rumahnya. Koko tampaknya tidak menghiraukan kedatangannya. Bahkan istri barunya itu terlihat dengan mesranya berdiri disamping koko yang meletakkan kedua tangannya dipinggang koko. ” hei, siapa kamu. Tini ya. Kenapa kamu kesini? Ini rumahku bersama mas koko. Bukannya kamu sudah mati, kalau belum mendingan kamu mati saja sekarang. Itu lebih baik, dari pada mau merusak kebahagiaan kami. Bukan begitu mas koko?” ujar wanita yang ada disebelah koko sambil mengalungkan tangan kanannya dileher koko dengan lembutnya. Hal ini jelas membuat tini makin marah. “hai , dasar kau, wanita murahan, tidak tahu diri. Koko adalah suamiku. Dan kau koko, mengapa kau tega menipuku, meninggalkanku hanya untuk menikahi wanita keparat ini. Dasar bajingan. ”Dekapan tetangga yang memegang Martini akhirnya lepas. Dengan cepat Martini meraih sebuah bambu yang tergeletak di bawah pohon nangka dan berlari menuju kearah koko dan istri barunya. Dengan tidak hati-hati ia menaiki anak tangga yang menuju kedalam rumah baru itu. Secepat kilat ia mengayunkan bambu itu ke arah mereka berdua. Namun malang, belum sampai bambu itu mengenai sasaran, ia kehilangan keseimbangan. Ia terpeleset dari dua anak tangga dan jatuh terjerembab tak sadarkan diri. ”Mbak – Mbak bangun Mbak. Mau turun di mana Mbak. Ini sudah sampai di wonosari," terdengar sayup-sayup suara pemuda yang duduk di dekat Martini. "Astagfiirullaahaladzlm .Ha...apa...?.. Wonosari," Tanya Martini. “ Ya Mbak sepertinya dari tadi Mbak gelisah tidurnya" ujar pemuda itu ”Apakah benar ini wonosari?" Tanya Martini memastikan seraya mengarahkan pandangannya keluar jendela. Ya ini adalah daerah yang telah tiga tahun ia tinggalkan. "Alhamdulillah ya. Allah terima kasih," batin Martini bahagia.

 UNSUR INTRINSIK

*    Tema  :  percayalah pada niat baikmu

*     Latar  :
            Tempat   :  dalam bis(dalam perjalanan) dan di kampung
             Waktu     :  tiga tahun setelah kepergian martini ke Arab Saudi
             Suasana  :   diawal cerita suasana yang timbul basa saja, tetapi pada pertengahan
                                 cerita suasana yang timbul Menegangkan karena adanya konflik yang
                                  timbul ketika tokoh utma bermimpi

*      Plot/alur  :  alur cerita itu adalah alur maju(episode) karena jalan cerita dijelaskan
                    secara runtut. Pada awal cerita diawali dengan pengenalan tokoh,
                    kemudian si tokoh bermimpi, pada mimpinya timbul suatu pertentangan 
                    yang berlanjut ke konflik(klimaks) dilanjutkan dengan antiklimaks dan
                    pada akhir cerita terdapat penyelesaian.

*      Perwatakan  :
            Tokoh utama(martini) :  wataknya yang sabar,lembut ,pekerja keras,  bertanggung
                                                       jawab terhadap keluarga,  hal ini di tunjukan dari
                                                      penjelasan tokoh,penggambaran fisik tokoh serta             
                                                      tanggapan tokoh lain terhadap tokoh utama

*      Tokoh pembantu  
            Mbok  : sabar
            Andra  :  patuh terhadap orang tua
            Mas koko  :  tidak bertanggung jawab terhadap keluarga

*      Sudut pandang : orang ketiga

*       Mood/suasana hati : kecurigaan,kesabaran,kecemburuan,penyesalan,kebahagiaan


*      Amanat : -Seharusnya  suami bertanggungjawab untuk mencari nafkah bagi anak dan
                   Istrinya
                 -Jangan dulu bersikap su’udzon kepada seseorang bila belum ada buktinya
                 - Keuletan dan kesabaran dalam bekerja  akan membuahkan hasil yang baik
                 - Selalu  berniat baik untuk mendapatkan ridho Allah swt


UNSUR EKSTRINSIK

*      Nilai moral : Dalam cerpen tersebut terdapat kandungan nilai moral yaitu seseorang
                      haruslah bersikap huznudzon terhadap   sesama manusia, karena
                      husnudzon  mencerminkan akhlak serta budi pekerti yang baik.

*      Nilai Sosial-budaya : Cerita pada cerpen tadi mempunyai kaitan yang  sangat erat 
                                    dengan kehidupan kita sehari-hari.  Bahwa kebanyakan orang
                                    yaitu wanita pergi merantau ke negeri orang demi membantu
                                    perekonomian keluarga seperti  menjadi TKW, sedangkan
                                    suaminya menunggu dirumah, untuk dikirimi uang dari istrinya
                                    tanpa berpikir , susahnya mencari uang dinegeri orang,
                                    sedangkan dia sendiri tidak bekerja. Namun, hal ini bertolak
                                    belakang dengan budaya serta tradisi, bahwa yang wajib
                                    mencari nafkah untuk keluarganya adalah suami. Karena suami
                                    adalah pemimpin dalam rumah tangga, jadi ia harus
                                    bertanggungjawab terhadap keluarganya. Tetapi, hal ini               
                                    rupanya sudah banyak terjadi di masyarakat, sehingga tidak
                                    jarang pula orang-orang yang menjumpai hal tersebut.

Rabu, 27 Maret 2013

SANDAL JEPIT MERAH



Karya: S.Rais

Senja memerah. Langit sajikan semburat jingga yang berkobar di batas horizon. Sesaat lagi malam akan menebarkan keremgangan yang membaur bersama napas kesunyian. Perlahan, alam mulai melepaskan diri dari jeratan hari. Seakan jemu menimbun lelah, bumi mulai mmeredupkan kehidupannya. Aromma sepi mulai menyebar ke setiap celah udara. Berbondong-bondong angin malam mulai menjalankan tugasnya menyelimuti semesta hitam. Malam pun menetas.
Di salah satu sudut remang, seorang perempuan tua berselonjor di atas sebuah bangku bamboo. Dipijatnya urat-urat kaki yang menegang akibat rutinitas melelahkan sehari ini. Kulit-kulit keriputnya seakan bicara tentang lelah yang telah menggunung seperti tumpukan sampah yang ada di belakang gubuk reyotnya. Matanya layu dan redup. Sepasang mata itu digendong kantung mata kehitaman yang makin melebar. Sesekali, dikedipkan dalam-dalam, sebagai cara untuk memperjelas apa yang menghampar di hadapannya. Tetapi percuma saja. Matanya telah tua, setua perjalanan kepedihannya yang menahun, dan perempuan itu tak mampu lagi menikmati tarian kunang-kunang yang muncul sebagai teman dalam pekat malamnya.
Sepasang sandal jepit tipis berwarna merah tergeletak begitu saja di bawah bangku bamboo. Sandal itu ddihinggapi lubang di sana- sini. Tak hanya itu, sandal tua itu pun dihinggapi bercak-bercak kecoklatan. Seperti darah yang mongering. Ya darah! Bahkan, diatas permukaan salah satu sandal itu masih terdapat darah segar. Darah itu bermuncrat dari kkakinya. Dikakinya mmasih terdapat serpih pecahan kaca yang belum sempat dibersihkan. Pecahan kaca yang tadinya berada di gunduhkan sampah belakng rumahnya itu telah bercampur dengan darah merah, darh yang terus menumpuk di atas sandal jepit merahnya.
Lima tahun telah berlalu setelah Mamat mengawini perempuan itu dalam usia belia. Lima belas tahun. Sebagai anak yatim piatu sebatang kara, perempuan itu tak akan mungkinmenolak lammaran Mamat, lelaki berumur dua puluh lima, yang begitu saying padanya. Dengan bekal keterampilan di bidang bangunan, Mamat mampu membiayai hidupnya dan menyewah sepetak kamar  di pinggiran kota. Kebaahagiaannya makin lengkap setelah dari rahimnya lahir seorang anak sehat walaupun saat itu isianya baru enam belas.
Anak laki-laki itu dinamainya Zaenal Mutakin yang tumbuh sebagai anak yang pintar, cerdas, dan pandai bernyanyi. Tak terhitung doa dan harapan yang diajukannya pada Sang Peencipta demi masa depan anaknya itu. Dalam pelukan mimpi, seringkali ia melihat anaknya tumbuh menjadi laki-laki tampan, terkadang menjadi dokter, olahragawan, bahkan presiden. Mimpi-mimpi itulah yang selalu jadi motivasinya untuk selalu bersemangat menjalani hidup  meski dililit beban sesulit apapun.
Tetapi, mimpi-mimpi itu harus mati dilindas hari. Di suatu senja yang memerah, burung gagak bertengger di atap kamar kontrakannya. Berbondong-bondong para tetangga mendatanginya  yang sedang memasak agar-agar untuk pangeran kecilnya. Pak RT memimpin rombongan sambil mengendong Zaenal mungil yang baru berusia empat tahun itu. Tubuh bocah itu kuyup. Matanya terpejam bagai putrid tidur. Tangannya menggelantuung lemas. Tak ada napas. Langit merah mulai menghitam setelah keriuhan dihamtam lantunan adzan. Air mata membanjir. Zaenal mungil telah pergi dijemput malam. Sungai yang tenang di pinggir kampong terlalu dalam untuk direnanginya tadi siang. Saat ditemukan, tubuhnya tellah mengambang bagai perahu. Di pinggir sungai, sepasang sandal jepit mungil berwarna merah darah kesayanggan Zaenal mungil terbujur bisu.
Empat puluh hari setelah kematian Zaenal mungil kesayangannya, perempuan iitu selalu melangkah Dallam mata kosong di atas sepasang sandal jepit merah. Hidupnya seakan usai begitu saja setelah cahaya hatinya pergi dicuri takdir. Tak ada lagi cahaya dalam hidupnya, tak terkecuali suami yang selama ini dicintainya sepenuh hati. Kematian Zaenal mungil telah menimbun kebencian dalam benak Mamat. Masih terngiang di telinga perempuan itu ketika Mamaat mencacinya habis-habisan setelah tahu buah hatinya  pergi mendahului.
“Ampun, Kang! Saya akui saya memang ceroboh, tetapi ini semua sudah jjadi takdir-Nya. Terimalah, Kang, Saya ibunya, saya lebih pedih ketimbang akang. Maafkan saya, Kang!”
“ Pergi kamu!”
Perempuan itu memeluk kaki suaminya sambil menangis hebat penuh penyesalan. Tetapi tak ada ampun dari Mamat, perempuan itu ditendangnya. Kepalanya membentur dinding, tubuhnya tersungkur di atas sandal jepit merahnya. Setelah itu ia tak ingat apa-apa lagi. Sandal jepit merahnya kini dibasahi air matanya.
Alangkah terkejutnya perempuan itu setelah tahu suaminya berniat mengawini perempuan lain. Ia hanya pasrah, berharap kabar itu tidak benaradanya. Dan kalaupun benar-benar terjadi, ia hanya berharap suaminya mau memmaafkannya dan tetap mencintainya seperti lima tahun yang lalu.
Tetapi, harapannya kembali using. Suatu hari, ketika peempuan yang telah diusir suaminya itu bermaksud kembali ke kontrakannya, kamar penuh kkenangan itu kosong. Tak ada yang tahu kemana perginya sang suami harapannya. Iaa hanya mendengar kabar bahwa suaminya akan tinggal di desa asal istri barunya, entah di mana. Seketika hatinya seakan dibanjiri darah. Darah merah semerah sandal jepitnya. Ia gampang menentukan kelanjutan langkahnya. Ia hanya melangkah mengikuti helai demi helai angin yang sinar setelah menyapanya. Ia berjalan menyusuri kehidupan dialasi sepasang sandal jepit merah. Entah harus kemana lagi.
Berpuluh-puluh tahun lamanya perempuan itu hidup bergantung pada siang dan malam. Ia hanya gelandangan tanpa tujuan yang hidup dari belas kasihan  orang yang lalu lalang di depan tempat duduknya. Pernah, suatu ketika ia mendapat pekerjaan sebagai seorang pembantu dirumah tangga. Tetapi bukan sebuah keluarga yang diurusinya, melaikan sebuah tempat jual beli narkoba. Bertahun-tahun, ia hidup dalam dunia hitam yang dikutukinya dalam hati. Baginya tak ada jalan lain. Hidup tanpa izasah pendidikan formal bagai mendaki gunung tanpa kaki.  Mungkin keajaiban Tuhan pulalah yang telah menhatarkannya pada pekerjaannya saat ini. Berkali-kali majikannya, seorang Bandar narkoba, menawarinya untuk bekerja sebagai pengedar barang haram tersebut sekaligus sebagai wanita tuna susila. Tetapi, ia bersikeras walau sebagai pembantu gajinya sangat kecil. Ia tidak tertarik sedikitpun pada penghasilan yang lumayan besar seperti yang didapat oleh peremppuan-peremp[uan cantik yang sering berkumpul di rumah majikannya itu.
Lama-lama ia tidak tahan juga, apalagi setelah sang majikan memmaksanya untuk mengukuti keinginannya, yaitu menjadikannya seorang wanita tuna susila. Ia bertahan dengan pendiriannya dan pergi meninggalkan istana penuh dosa itu. Dengan uang yang dikumpulkannya, iaa membeli sebuah gubuk reyot yang ada di sekitar tempat pembuangan sampaah di kota lain. Di ssitulah ia memulai kehidupan barunya sebagai seorang pemungut paku bekas gunung. Dan itu berlalu beggitu saja, berpuluh-puluh tahun lamanya.
Malam masih menyajikan aroma kessunyian di seekitaar gubuk reyot itu. Bulan pucat memandanginya dari balik banyang awan hitam. Lampu temple di dindiing kini telah dihinggapi jelaga seiring denggan malam yang semakin tua. Perempuan itu membasuh kaki kotornya dengan air dingin. Luka-luka mongering di telapak kakinya bagai prasasti yang menceritakan bagaimana kepedihan hidupnya selama ini, selama puluhan tahun. Seiring dengan pergantian waktu, sandal jepit merahnya yang ddulun telah berkali-kali digaanti dengan sandal jepit merah baru. Kini ssandal jepit merahnya telah banyak dihinggapi lubang dan bercak darah karena tusukan beling dan paku berkaarat, dan ia harus menggantinya dengan sandal jepit merah yang baru.

Bagaimana tanggapan Anda mengenai cerpen “ Sandal Jepit Merah” yang telah dibacakan oleh teman Anda tersebut? Dapatkah Anda memahaminya? Jika belum, baca kembali cerpen tersebut dengan seksama.
Kemudian, dapatkah Anda menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen tersebut? Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dalam sebuah karya cerpen terdapat gagasan yang hendak disampaikan oleh pengaarang. Gagasan tersebut muncul bersama nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
1.      NILAI MORAL
Dalam cerpen tersebut dikisahkan tentang seorang perempuan tua yang memiliki masa lalu yang sangat menyedihkan. Awalnya, perempuan itu hidup bahagia. Akan tetapi, seteelah kematian anak semata wayangnya, hidupnya berubah menjadi sebuah kesdihan yang berkepanjangan. Akan tetapi, permpuan itu tidak pernah putus asa. Dia terus berjuang untuk mempertahankan  hidupnya. Bahkan, perempuan tersebut tetap tegar dengan pendiriannya saat dirinya hamper terjerumus ke dalam lembah hitam. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipann berikut.
“Berkali-kali majikannya, seorang Bandar narkoba, menawarinya untuk bekerja sebagai pengedar barang haram tersebut sekaligus sebagai wanita tuna susila. Tetapi, ia bersikeras walau sebagai pembantu gajinya sangat kecil. Ia tidak tertarik sedikitpun pada penghasilan yang lumayan besar seperti yang didapat oleh peremppuan-peremp[uan cantik yang sering berkumpul di rumah majikannya itu.
Lama-lama ia tidak tahan juga, apalagi setelah sang majikan memmaksanya untuk mengukuti keinginannya, yaitu menjadikannya seorang wanita tuna susila. Ia bertahan dengan pendiriannya dan pergi meninggalkan istana penuh dosa itu”.
Dari kutipan tersebut, ada sebuah nilai moral yang hendak disampaikan oleh pengarang. Pengarang hendak mengemukakan bahwa meskipun kita didera kesulitan hidup, kita tidak boleh terjebak oleh nafsu dunia. Kita harus  berpegang teguh pada pendirian kita dan pada ajaran agama.
2.      NILAI BUDAYA
Nilai budaya merupakan nilai-nilai yang bertolak dari perilaku kehidupan sosial masyyarakat di suuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Nilai budaya tersebut dapat mencakup berbagai masalah, di antaranya kebiasaan hidup, aadat istiadat,  tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap.
Dalam cerpen “Sandal Jepit Merah” tersebut, masyarakat yang digambarkan adalah sekelompok orang yang tinggal dikawasan pinggiran kota. Mereka tergolong ke dalam strata sosial menengah ke bawah. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

“Dengan bekal keterampilan di bidang bangunan, Mamat mampu membiayai hidupnya dan menyewah sepetak kamar  di pinggiran kota. Kebaahagiaannya makin lengkap setelah dari rahimnya lahir seorang anak sehat walaupun saat itu isianya baru enam belas”.
3.      NILAI  SOSIAL
Dalam cerpen tersebut terdapat beberapa nilai sosial yang dikemukakan oleh pengarang. Di antaranya adalah mengenai sulitnya menjalani kehidupan sebagai seseorang yang miskin. Hal tersebut dapat diamati dalam kutipan berikut.
“Baginya tak ada jalan lain. Hidup tanpa izasah pendiddikan formal bagai mendaki gunung tanpa kaki”.
Dalam cerpen ini, juga ditampilkan gambaran sosial kehidupan perkotaan yang suram. Dalam cerpen tersebut diceritakan mengenai kehidupan tokoh utama yang menyambung hidup di tengah-tengah kezaliman. Ia terpaksa meenjadi seorang pembantu rumah tangga di sebuah tempat jual beli narkoba dan tempat lokalisasi wanita tunasusila. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

” Bertahun-tahun, ia hidup dalam dunia hitam yang dikutukinya dalam hati. Baginya tak ada jalan lain. Hidup tanpa izasah pendidikan formal bagai mendaki gunung tanpa kaki.  Mungkin keajaiban Tuhan pulalah yang telah menhatarkannya pada pekerjaannya saat ini. Berkali-kali majikannya, seorang Bandar narkoba, menawarinya untuk bekerja sebagai pengedar barang haram tersebut sekaligus sebagai wanita tuna susila”.